Cendana (Santalum album l) di dalam lukisan: metode lain kampanye konservasi spesies

Cendana dengan nama ilmiah Santalum album L. juga dikenal dengan beberapa nama di Indonesia seperti Candana di Minangkabau, Belitung, Madura, Sunda dan Jawa, Ai nitu di Sumba, Katu Ata di Flores, Sondana di Sulawesi Utara, Ayu Luhi di Gorontalo, Ai Nituk di Roti dll. VOC ketika memperdagangkan kayu cendana dulu menyebutnya dengan Sandelhout. VOC telah memperdagangkan kayu ini sejak abad ke-17 melalui selat Malaka menuju China dan India. Kemungkinan di Indonesia, Cendana dibawa dari pulau Sumba oleh pedagang, jika dilihat dari julukannya, pulau Sumba disebut dengan Sandalwood Island.  (Gambar 1. Lukisan cendana (Santalum album L.) yang dilukis oleh salah satu Dosen Jurusan Biologi Robby Jannatan, M.Si. di atas kanvas berukuran 75x50 cm. Lukisan ini sekarang dipajang di kantor Jurusan Biologi Universitas Andalas, Sumatera Barat)

Cendana merupakan tumbuhan asli Indonesia yang tersebar di Jawa timur, Pulau Madura, Bali, Rote, Sumba, Sawoe dan Wetar. Sebagian besar cendana tersebar di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Barat (NTB). Hingga sekarang, pohon cendana telah tersebar di seluruh wilayah Indonesia hingga ke aceh dengan sebutan ceundana. Penyebaran cendana sebenarnya tidak terbatas di Indonesia saja, cendana tersebar hinggi ke India dan Semenanjung Malaya. Si cendana ini mempunya tinggi antara empat hingga sembilan meter. Mempunyai bunga berwarna merah dan bersifat hemiparasit, karena dia perlu menggantungkan hidup kepada inang di fase awal hidupnya, dia butuh inang untuk tumbuh, sistem perakaran cendana di fase awal belum mampu menopang kehidupannya. Beberapa inang dari cendana adalah Alternanthera sp., Sesbania grandiflora (pohon turi atau gala-gala), Atalaya hemiglauca, Acacia hemignosta (Akasia), Crotalaria retusa, dll. Ketergantungan terhadap inang inilah salah satu hal yang membuat cendana menjadi terancam hidupnya.

 


Gambar 2. Robby Jannatan, M.Si. bersama lukisannya yang sekarang terpajang di kantor Jurusan Biologi UNAND


Pada tahun 1972 Menteri Pertanian mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pohon-Pohon di dalam Kawasan Hutan yang Dilindungi bernomor: 54/Kpts/Um/2/1972. Kemudian, pada tahun 1998 dunia international melalui IUCN (International Union for Conservation of  nature and Natural Resources) telah menetapkan spesies ini rentan (Vurnerable). Sebagian besar penyebab spesies ini rentan;  pertama, karena ekspor atau nilai konsumsi yang tinggi untuk aromaterapi namun tidak dibarengi dengan budidaya yang tinggi pula. Cendana memang susah untuk dibudidayakan, terlebih pohon ini punya inang spesifik dan baru mengeluarkan aroma setelah berumur sepuluh tahunan, sudah pasti tidak sebanding antara produksi dengan konsumsi. Kedua, karena populasi pohon-pohon inang tersebut di hutan perlahan hilang karena logging, deforestasi hutan, kebakaran hutan, konversi wilayah hutan menjadi pertanian, peternakan, perkebunan dan pertambangan. Sehingga diperlukan sebuah studi spesifik tentang pohon ini dan aksi konservasi yang efektif dan efisien. Sebagai contoh, pada tahun 2002, secara tegas India telah melarang ekspor kayu cendana ke negara-negara lain. Karena keterbatasan produksi cendana, para konsumen mencoba mengganti cendana wangi (Santalum album) dengan cendana jenggi (Santalum spicatum).

Hingga saat ini, para peneliti mencoba terus mencari cara membudidayakan kayu cendana agar populasinya tidak terus menurun dan mendekati kepunahan. Kemudian ditemukan; cendana mempunyai tiga tahapan inang selama masa pertumbuhannya. Inang pertama, selama masa persemaian yang cocok adalah krokot (Alternanthera sp.) atau disebut dengan inang primer. Setelah cendana tumbuh besar, dia akan membutuhkan inang sekunder seperti pohon turi (Sebasnia grandiflora) atau akasia (Acacia sp.). Sedangkan untuk jangka panjang, cendana membutuhkan inang seperti Casuarina junghunniana. Peranan inang menjadi sangat penting untuk aksi penyelamatan maupun produksi kayu cendana. Sebagian besar inang ini ditemukan di dalam hutan. Aksi nyata berikutnya yang menjadi penunjang keberhasilan konservasi cendana adalah pengembangbiakan inang cendana itu sendiri, atau mencegah deforestasi hutan tempat inang-inang itu tumbuh.

Jika kita tidak sanggup melakukan praktek konservasi cendana secara langsung sebagai seorang praktisi, kita bisa melakukan kampanye konservasi melalui keterampilan yang kita punya, sebagai bentuk kontribusi kita kepada mother nature yang telah memberikan banyak hal dan manfaat.

Gambar 1. Lukisan cendana (Santalum album L.) yang dilukis oleh salah satu Dosen Jurusan Biologi Robby Jannatan, M.Si. di atas kanvas berukuran 75x50 cm. Lukisan ini sekarang dipajang di kantor Jurusan Biologi Universitas Andalas, Sumatera Barat.

Kampanye konservasi pada zaman sekarang menuntut kita harus kreatif dan tidak melulu dengan hal-hal formal seperti diskusi ilmiah, konferensi ataupun presentasi poster. Kampanye konservasi bisa dilakukan dengan sebuah karya seni – seperti lukisan. Lukisan-lukisan yang dibuat dengan seksama ataupun dengan asal-asalan seperti lukisan abstrak, akan mempunyai makna tersendiri bagi penikmatnya dan penyampaian pesan yang menarik. Sehingga lukisan bisa menjadi salah satu metode kampanye konservasi spesies yang sangat efektif dilakukan, dengan konsep sekali mendayung dua pulau terlampaui, sambil menyelam minum air. Bisa jadi kegiatan tersebut seperti pameran lukisan-lukisan kampanye konservasi spesies di salah satu galeri yang akan mengundang banyak penikmat untuk didoktrin pesan penyelamatan flora atau fauna ke dalam otak-otak mereka, sehingga mereka terbius untuk aksi penyelamatan, minimal mulai dari diri sendiri. Selain itu, masih banyak flora atau fauna yang mesti diselamatkan dan butuh aktifitas konservasi dari praktisi konservasi dengan berbagai metode, salah satunya metode lukisan.

Lukisan Santalum album L. di atas sekarang terpajang di kantor jurusan Biologi Universitas Andalas, Sumatera Barat bersama lukisan spesies lainnya, seperti Kuau Raja dan Penyu. Dengan banyaknya tamu yang silih berganti ke sana, lalu mahasiswa yang datang dan pergi, masuk dan keluar, lukisan yang dipajang bisa jadi penyampai pesan yang tidak akan hilang dan tidak akan basi sampai kapanpun – tidak seperti banner atau baliho atau pamflet atau leaflet yang hanya bisa digunakan untuk kampanye dalam jangka waktu tertentu.

Gambar 2. Robby Jannatan, M.Si. bersama lukisannya yang sekarang terpajang di kantor Jurusan Biologi UNAND

Read 5515 times Last modified on Selasa, 27 September 2022 11:02