Memahami Sang Penjelajah Samudera

Sejalan dengan pelaksanaan kerjasama antara Fakultas Maematika dan ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas, khususnya Jurusan Biologi dengan Liberec Zoo, dua orang mahasiswa Biologi m. Ryan Maulana dan Lusi Rahmayeni mendapat kesempatan ikut kegiatan Penelitian Adéla Hemelíková, M.Sc yang sedang meneliti tentang penyu. Pada 5-13 April, team peneliti melakukan survei di Pulau Pandan untuk mendata penyu yang melakukan pendaratan dan bertelur. Survey yang dilakukan pada malam hari juga bertujuan untuk melakukan kajian morfometrik terhadap penyu yang mendarat serta pengambilan sampel genetik. Sejalan dengan kegiatan tersebut juga dilakukan relokasi telur penu ke tempat yang lebih aman, sehingga bisa terhindar dari gangguan-gangguan yang bisa menyebabkan telur gagal menetas ataupu tingginya tingkat kematian pada tukik, seperti biawak dan aktivitas illegal. Tukik yang menetas segera dilepaskan di pantai terdekat.

Penyu merupakan reptil yang menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan beruaya di samudera. Tukik penyu yang baru menetas dalam timbunan pasir pantai umumnya akan langsung menuju lautan dan berenang menuju daerah mencari makan (feeding area) di samudera luas. Periode ini sering disebut dengan “tahun-tahun yang hilang” karena ribuan tukik yang menetas akan melalui tahapan seleksi alam, baik dengan menghindari serangan pemangsa, menemukan tempat mencari makan, dan menemukan jalur beruaya, dan hanya sebagain kecil dari ribuan tukik tersebut yang sukses untuk melewati tahapan ini. Tukik akan berkembang menjadi penyu muda dan serta menjadi penyu dewasa yang akan melakukan pemijahan pada umur sekitar 20 sampai 50 tahun, kemudian mulai meletakkan telurnya pada pesisir pantai. Tahapan-tahapan tersebut dilakukan sambil berpindah (bermigrasi atau beruaya) dari satu samudera ke samudera lainnya. Bisa saja penyu yang menetas di pesisir barat Sumatera beruaya sampai ke daerah perairan di Afrika.

Perairan Indonesia merupakan habitat dari enam dari tujuh jenis penyu yang ada di dunia. Jenis-jenis penyu tersebut lima diantaranya termasuk kelompok famili Chelonidae yakni Penyu hijau (Chelonia mydas), Penyu sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu lekang (Lepidochelys olivacea), Penyu pipih (Natator depresus) serta Penyu tempayang (Caretta caretta). Sementara satu jenis lainnya digolongkan ke dalam famili Dermochelydae yakni Penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Semua jenis tersebut dikategorikan sebagai jenis satwa yang dilindungi secara nasional merujuk kepada UU no 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, serta Surat Edaran MKP No. 526/MEN-KP/VIII/2015  tentang Pelaksanaan Perlindungan Penyu,Telur, Bagian Tubuh dan/atau produk turunannya. Secara internasional perdagangan penyu dilarang karena terdaftar dalam Apendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flaura), serta digolongkan sebagai satwa terancam punah oleh   IUCN (International Union for Conservation of Nature).

Karenanya penelitian dan upaya pelestarian penyu sangat penting untuk dilakukan. Kegiatan penelitian bisa menambah pengetahuan kita tentang aspek biologi penyu, sehingga bisa dijadikan dasar upaya pelestariannya. Sementara upaya konservasi, seperti pencegahan perdagangan telur, bagian tubuh penyu menjadi sangat penting untuk mencegah semakin menurunnya populasi penyu yang ada.

 

Gambar. Lusi Rahmayeni Kegiatan penelitian

 

Gambar. M. Ryan Maulana sedang mendapatkan bimbingan pengetahuan dari Adéla Hemelíková, M.Sc

 

Gambar. Penyu menuju samudera luas

Read 559 times Last modified on Selasa, 27 September 2022 10:36