Krokot yang dijadikan sayuran biasanya memiliki batang merah-hijau, daun lonjong, bunga kuning, dan kelopak bunga tunggal. Berbeda dengan krokot hias yang memiliki bunga berwarna-warni dan kelopak bunga berlapis-lapis. Di berbagai negara, termasuk Eropa, Mediterani, Afrika, Asia, dan Australia, krokot sudah lama dijadikan sayuran karena kandungan gizi yang tinggi, seperti mineral, potassium, kalsium, magnesium, fosfor, dan zat besi yang melebihi bayam. Bahkan, tanaman ini juga memiliki kadar omega-3 yang sangat tinggi.
Sayangnya, penelitian mengenai potensi krokot sebagai obat antikanker masih terbatas. Kanker, terutama kanker payudara, terus menjadi masalah kesehatan yang serius di Indonesia. Statistik menunjukkan peningkatan kasus kanker payudara yang alarmir, dari 58.256 pada tahun 2018 menjadi 65.858 pada tahun 2020. Yogyakarta, Sumatera Barat, dan Kalimantan Timur merupakan tiga wilayah dengan kasus kanker tertinggi.
Tim PKM-RE dari Universitas Andalas yang dipimpin oleh Utami Sararwati dengan anggota Muthiya Safinatun Najah, Ghinaa Zahra, Elzam Naufal Zulfikri, dan Nur Sakinah Aini telah memulai riset mendalam mengenai krokot dengan harapan menemukan senyawa anti-kanker yang aman dan memiliki efek samping yang minimal. Mereka dibimbing oleh, Dr. Rita Maliza di Laboratorium Struktur & Perkembangan Hewan.
Penelitian tim PKM-RE ini melibatkan pengujian senyawa dari krokot, dengan fokus pada senyawa bioaktif. penelitian ini bisa menjadi titik terang dalam pengembangan obat anti-kanker yang lebih aman dan efektif. Upaya ini juga sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) 3, yang bertujuan untuk mengurangi angka kematian akibat penyakit tidak menular. Krokot, tanaman yang pernah dianggap sayuran biasa, kini memiliki potensi untuk berkontribusi besar dalam upaya pemberantasan kanker dengan risiko yang lebih rendah bagi pasien.